Sipahutar
adalah salah satu marga yang ada pada suku Batak. Marga Sipahutar
berasal dari Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara. Semua
marga
mempunyai cerita, silsilah dan sejarah
masing-masing. Demikian juga halnya dengan marga Sipahutar mempunyai
sejarah tersendiri. Sipahutar mempunyai nenek moyang yang bernama Mata Sopiak Langit. Mata Sopiak Langit adalah Raja Marga Sipahutar atau keturunan pertama yang membawa marga Sipahutar sampai saat ini. Menurut sejarah dari para sesepuh Sipahutar terdahulu, Raja Sipahutar mempunyai satu buah mata yang terletak di tengah-tengah kening.
Sejak kecil, Mata Sopiak Langit sudah
belajar hal-hal tentang perdukunan. Dengan kesaktiannya, beliau sangat
dikenal dan sangat ditakuti oleh orang banyak.. Karena pengaruh
kekuatannya ini juga Mata Sopiak Langit berkenalan dengan putri
tulangnya (Pariban) yang bernama GIRING PANAITAN BORU HASIBUAN. Adapun
tulangnya bernama HASIBUAN DATURARA dari kampung Janjimatogu Porsea.
Putri tulangnya ini yang dikemudian hari dipinang menjadi istrinya.
Konon tanah kelahiran Si Raja Sipahutar berasal dari suatu kampung di pinggiran Danau Toba, di sekitar kota Porsea. Ayah dari Raja Sipahutar bernama Datu Dalu dan mempunyai beberapa orang saudara yang berasal dari satu Bapak (Datu Dalu).
.
Adapun nama saudara-saudara Raja Sipahutar adalah sebagai berikut :
-
Pasaribu (Habeahan, Bondar, Gorat)
-
Batubara
-
-
Matondang
-
Tarihoran
-
Harahap
-
Gurning
-
Saruksuk
-
Parapat
-
Tanjung
Raja Sipahutar mempunyai 3 orang anak dari Boru Hasibuan, yaitu :
1. Hutabalian (Sulung)
Hutabalian tidak mempunyai keturunan.
Menurut cerita, Hutabalian dihukum oleh bapaknya (Raja Sipahutar). Ia
ditiup oleh Bapaknya sampai ke bukit Simanuk Manuk. Ini semua
dikarenakan sikap Hutabalian yang tidak terpuji.
2. Namora Sohataon (Tengah)
Namora Sohataon adalah anak kedua dari Raja Sipahutar dan inilah yang meneruskan marga Sipahutar sampai saat ini.
3. Daulay (Bungsu)
Daulay adalah anak ketiga dari Raja Sipahutar dan pergi merantau ke daerah Tapanuli Selatan (Mandailing).
Setelah Sopiak Langit
menghukum anak sulungnya (Hutabalian), Sopiak Langit sering merenung dan
menyesali perbuatannya. Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan
Sopiak Langit pergi jauh dari kampungnya untuk melupakan kejadian
menyedihkan tersebut. Ketika dia pergi dari kampungnya, dia meninggalkan
istrinya, Boru Hasibuan. Namun kedua anaknya yang lain turut dibawanya
(Namora Sohataon dan Daulay).
Mereka bertiga berpetualang selama
berhari-hari menelusuri jalan dan daerah yang tak bertuan dan tak
bernama. Setelah menempuh perjalanan yang panjang, mereka berhenti di
suatu tempat dan mendirikan Para-para (menara kayu) sebagai tempat untuk
mereka tinggal.
Disanalah Ia berladang sambil
membesarkan kedua anaknya. Kampung inilah yang kemudian bernama DESA
SIPAHUTAR (sekarang Kecamatan Sipahutar), karena Raja Sipahutar yang bergelar Mata Sopiak Langit-lah yang merintisnya.
Setelah kedua anaknya dewasa, Si
Bungsu, Daulay merantau ke daerah Tapanuli Selatan (Sipirok, Angkola,
sampai ke Mandailing). Dari daerah inilah kemudian berkembang luas Marga Daulay dan berdiaspora sampai hari ini.
Sedangkan si anak kedua, Namora Sohataon menetap di kampung itu. Sampai akhirnya dia menikah dan memiliki 2 orang anak, yaitu :
- Namora Tongguon (Sulung)
- Paung Bosar (Bungsu)
Dalam perjalanan hidup Sopiak Langit selama di kampung Sipahutar, Ia memiliki banyak cerita
dan dongeng. Ada yang menggambarkan jika Ia memiliki kekuatan yang tak
tertandingi, Ia memiliki ilmu kebal. Ada juga yang mengatakan bahwa Ia
adalah Dukun Sakti Mandraguna, yang dapat mengobati beragam penyakit.
Dan masih banyak juga
pekerjaan-pekerjaan positif lainnya. Tetapi dibalik kehebatannya itu,
ada juga pekerjaan-pekerjaan atau sikap-sikapnya yang kurang terpuji.
Seperti mengambil istri orang lain untuk menjadi istrinya melalui
kekuatan yang dimilikinya.
Sopiak Langit meninggal secara alamiah
di desa Sipahutar. Di kemudian hari di tahun 1971 oleh keturunan
Sipahutar dibuatlah makam resmi beserta tulang belulang istrinya, Boru
Hasibuan yang diambil dari desa Janji Matobu, Porsea.
Adapun cerita dari kedua cucu Sopiak Langit yang bernama Namora Tongguon dan Paung Bosar
beserta keturunannya pada akhirnya meninggalkan desa tersebut untuk
mencari tempat hidup yang lebih baik. Mereka meninggalkan tanah dan
harta warisan yang dititipkan ke Marga Silitonga.. Hal inilah yang di
kemudian hari sampai dengan hari ini tidak ada lagi keturunan Sipahutar
di desa tersebut, melainkan diganti dengan keturunan Silitonga.
Keturunan dari Namora Tongguon ada 5 orang :
- Ompu Mandalo (bertempat di Lobusingkam, Sipoholon, Tarutung, Garoga)
- Ompu Sahata (bertempat di Lobusingkam, Pagar Batu, Parsingkaman/Banuaji)
- Ompu Rido (bertempat di Parsoburan, Garoga, Labuhan Batu)
- Ompu Partuhoran (bertempat di Tarutung, Siborong-borong, Sibolga)
- Ompu Raja Silaing (bertempat di Pagar Batu, Adian Koting, Pinangsori, Pahae)
Keturunan dari Paung Bosar ada 4 orang, yaitu :
- Ompu Bela
- Ompu Porhas Sohaunangan
- Ompu Raja Jokkas Ulubalang
- Ompu Namora Sojuangon
Keturunan dari Paung Bosar
bermukim di daerah : Tarutung, Parsingkaman, Silangkitang,
Sipan/Sihaporas (Sibolga), Pinangsori, Batangtoru, dan daerah-daerah
lain. Demikianlah keturunan-keturunan Raja Sipahutar tersebar ke seluruh negeri yang kemudian sampai ke kota-kota besar hingga Luar Negeri.
Dari ke-9 keturunan inilah yang pada akhirnya mewarnai perkembangan kuantitas/jumlah marga Sipahutar di muka bumi ini.